Hukum Muslimah Berobat kepada Dokter Laki-Laki: Apakah Diperbolehkan?

Ketahui hukum dan etika berobat bagi Muslimah kepada dokter laki-laki dalam Islam.

, Jakarta - Sebagai makhluk sosial, manusia pasti membutuhkan pertolongan dari orang lain. Terlebih saat ditimpa musibah seperti sakit. Dalam praktiknya, pemeriksaan dan pengobatan saat sakit tidak selalu ditemukan tenaga medis sesama jenis. Faktanya, di lapangan, tenaga medis seringkali berasal dari kaum laki-laki, misalnya dokter obgyn.

Hal ini akhirnya menjadi dilema antara menjaga aurat dan kebutuhan medis. Ketidaktahuan terkait hukum ini, tentunya akan membuat perempuan muslim khususnya merasa tidak nyaman dan cemas. Oleh karena itu, penting untuk memahami hukum berobat bagi Muslimah kepada dokter laki-laki.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nur ayat 30-31, Allah telah menjelaskan tentang pentingnya menjaga pandangan dan kemaluannya pada yang bukan mahram. Tidak hanya itu, beberapa aturan lainnya pun mengikuti, seperti pada salah satu hadis yang menyatakan: “Sesungguhnya andai kepala seseorang kalian ditusuk dengan jarum yang terbuat dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrâni dalam al-Mujamul Kabîr.

Lantas, bagaimana hukumnya jika seorang wanita muslimah berobat pada dokter atau tenaga medis laki-laki? Mari kita bahas lebih lanjut mengenai ketentuan yang ada.

Ketentuan Berobat pada Tenaga Medis Lawan Jenis

Adapun bagi orang yang sudah terlanjur sakit kemudian tidak menemukan dokter lain selain dokter lawan jenis, maka ada tuntunan syariat yang harus diupayakan untuk diikuti antara lain sebagai berikut:

1. Kondisi Terpaksa

Dalam kondisi terpaksa, pengobatan dan perawatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan berbeda jenis kelamin, diperbolehkan. Dengan ketentuan bahwa pada saat itu tidak ada tenaga kesehatan seperti dokter yang berjenis kelamin sama dengan pasien di wilayah terdekat.

2. Tidak Berkhalwat

Pada saat pengobatan, pasien harus ditemani oleh seorang yang menjadi mahram atau sesama jenis dengannya. Dengan artian, dalam ruangan pemeriksaan, tidak diperbolehkan berduaan antara dokter dan pasien yang berbeda jenis.

3. Pemeriksaan hanya di Area Tertentu

Untuk melindungi dari fitnah serta tetap menjalankan syariat agama, aurat yang diperbolehkan untuk dipegang hanya sekedar tempat-tempat yang diperlukan untuk dilakukan pemeriksaan.

4. Berupaya Mencari Dokter Muslim

Apabila terpaksa harus ke dokter lawan jenis, maka harus diupayakan terlebih dahulu pada dokter seorang muslim. Dan bila tetap ia tidak menjumpai, maka boleh ke kafir dzimmy dengan syarat bisa dipercaya juga aman dari fitnah.

Ketentuan tersebut merujuk kepada keterangan dari Kitab Hasyiyah al-Bajury yang menyatakan bahwa hukumnya boleh, seorang dokter melihat kepada pasien perempuan bukan mahram pada anggota badan yang dibutuhkan untuk pengobatan, bahkan di area farji, dengan catatan jika tidak dijumpai adanya perempuan yang bisa mengobatinya.

Ketentuan Lainnya

Adapun dalam ketentuan menyentuh, melakukan pemeriksaan serta memberikan obat, merujuk kepada kesepakatan ulama, jumhur fuqaha’ berpendapat bahwasannya boleh bagi dokter ketika adanya hajat yang mendesak untuk membuka aurat pasien baik laki-laki maupun perempuan, baik yang berjenis kelamin sama dengannya atau berjenis kelamin berbeda.

Dari penjelasan di atas, ketentuan tentang perempuan ataupun laki-laki ketika melihat aurat satu sama lain hukumnya adalah haram. Namun, melakukan pengobatan pada dokter yang berbeda jenis kelamin, dalam kaidah fiqh dijatuhi hukum tentang keadaan darurat. Hukum darurat sama halnya ketika nanti seorang anak merawat orang tuanya yang telah lansia.


You Might Also Like