Pelajari cara bertaubat yang efektif dari dosa ghibah agar taubat diterima dengan sempurna.
Ghibah adalah perilaku membicarakan kejelekan atau aib orang lain. Perlu disadari, bahwa perbuatan ghibah merupakan dosa yang berkaitan dengan hak Allah. Menyebutkan aib seseorang sama halnya dengan mempermalukannya. Segala bentuk perbuatan berkesan buruk tentang seseorang dan membiarkan orang lain juga beranggapan demikian maka termasuk dalam kategori ghibah.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ.
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang" (QS. Al-Hujurat:12).
Oleh karena itu, bagi pelaku ghibah dituntut untuk bertaubat serta bertekad agar tidak mengulanginya kembali. Sehingga untuk menggugurkan dosa ini, ada syarat lain yang harus dipenuhi agar taubatnya diterima dengan sempurna.
Mengutip dari laman muslim.or.id, terdapat beberapa syarat tambahan untuk menyempurnakan taubat dari dosa ghibah. Pendapat pertama mengatakan seorang yang menghibahi saudaranya tebusannya cukup dengan memohonkan ampunan untuk orang yang dighibahi. Mereka berdalil dengan hadis, "Tebusan ghibah adalah engkau memintakan ampun untuk orang yang engkau ghibahi." Hikmah dari permohonan ampun untuk orang yang di-ghibah-i ini adalah, sebagai bentuk tebusan untuk menutup kezaliman yang telah ia lakukan kepada orang yang dighibahi. Jadi tidak perlu mengabarkan ghibahnya untuk meminta kehalalan kepada orang yang di-ghibah-i.
Pendapat kedua menyatakan, memohonkan ampunan saja tidak cukup. Akan tetapi harus ada usaha meminta kehalalan kepada orang yang dighibahi, agar taubatnya diterima di sisi Allah. Dan bagi pihak yang di-ghibah-i, seyogyanya untuk memaafkan saudaranya yang meminta kehalalan karena telah menggunjingnya. Agar ia mendapatkan pahala memaafkan kesalahan orang lain dan keridoan Allah terhadap orang-orang yang pemaaf.
Setelah pemaparan dua pendapat ulama di atas beserta argumen yang mereka utarakan, maka pendapat yang nampaknya lebih rajih-wal’ilmu ‘indallah-menurut keterbatasan ilmu kami adalah pendapat kedua; yang menyatakan wajibnya meminta kehalalan kepada orang yang dighibahi. Terlebih bila orang yang dighibahi dikenal pemaaf dan berdada lapang. Terkadang orang yang mengghibahi tidak bermaksud menghinakan, namun hanya saja dia tergelincir ketika berbicara atau mengobrol. Intinya, yang perlu dipahami bersama bahwa ini adalah konsekensi asal dari tebusan ghibah, yaitu meminta kehalalan kepada orang yang di-ghibah-i.
Wallahu a’lam