Mengelola Harta Negara: Teladan Khulafaur Rasyidin yang Menginspirasi

Khulafaur Rasyidin memberikan teladan yang luar biasa dalam mengelola harta negara. Mereka menunjukkan transparansi, sikap hemat, keadilan, keberanian, dan kebijaksanaan dalam menghadapi tanggung jawa...

Dalam Islam, tindakan korupsi sama dengan pencurian. Para pejabat yang melakukan demikian haruslah banyak merenungi kisah-kisah teladan Khulafaur Rasyidin dan pejabat Islam terdahulu kala berhadapan dengan harta Negara.

Hal yang menjadikan khalifah Islam saat itu sedemikian rupa tidak lain dan tidak bukan ialah karena rasa takut mereka mengonsumsi harta-harta yang syubhat dan haram. Rasulullah saw bersabda:

منِ استعملناهُ على عملٍ فرزقناهُ رزقًا فما أخذَ بعدَ ذلِكَ فَهوَ غُلولٌ

Artinya: “Barang siapa yang telah kami angkat untuk melakukan suatu tugas, lalu ia telah kami beri gaji, maka apa saja yang diambilnnya selain gaji adalah khianat.” (HR Abu Dawud)

Asyaukani ketika mengomentari hadits ini mengutarakan bahwa sanad hadits ini memuat para perawi yang dapat dipercaya. Beliau juga menuturkan bahwa hadits di atas menunjukkan keharaman bagi seorang pekerja mengambil harta lebih dari pada upahnya. (Assyaukani, Nailul Authar, [Mesir, Darul Hadits:1993], jilid IV, halaman 197)

Berikut ini adalah kisah para pemimpin umat Islam yang begitu hati-hati ketika diberikan tanggung jawab mengelola dan mendistribusikan uang negara.

1. Abu Bakar As-Siddiq

Sosok yang satu ini pernah menjadi orang nomor satu dalam Islam setelah baginda Rasulullah wafat. Namun tanggung jawab khilafah yang beliau emban tidak serta merta menjadikannya rakus pada harta. Sebaliknya, rasa takutlah yang menghampiri beliau tatkala dihadapkan dengan harta negara.

Dikisahkan dalam Tabaqat Ibni Sa’d bahwa Abu Bakar sempat melanjutkan dagangannya selama enam bulan usai terangkat menjadi khalifah. Hal itu bertujuan untuk menafkahi keluarga dan anak-anaknya. Saat itu beliau belum menerima gaji sepeser pun sebagai khalifah.

Namun, Umar bin Khattab dan abu Ubaidah mengarahkan sang khalifah untuk fokus pada khilafah dan umat Islam, lalu mengambil gaji dari baitul mal atas amanat khilafah yang beliau emban. Gaji itulah yang mencukupi kehidupan beliau dan keluarganya. (Ibnu Sa’d, At-Tabaqat Al-Kubra,[Beirut, Darul Kutub Al-‘ilmiah: 1990 M], jilid III, halaman 137)

Selain itu, dalam Tarikh At-Tabari diceritakan bahwa Abu Bakar menjelang akhir hayatnya, memerintahkan sanak keluarganya untuk mengembalikan seluruh harta yang ia hasilkan dari gaji khalifah kepada baitul mal atau kas negara. (At-Tabari, Tarikhut Thabari, [Beirut, darul Kutub Al-‘Ilmiah: 1407 H], jilid II, halaman 354)

2. Umar bin Al-Khattab

Setelah wafatnya Abu Bakar As-Siddiq, kepemimpinan Islam beralih kepada Umar bin Al-Khattab. Tak beda jauh dengan pendahulunya, Umar juga adalah sosok yang tidak haus akan harta, bahkan beliau hidup dalam kesederhanaan selama menjadi khalifah.

Umar bin Al-Khattab mengibaratkan harta baitul mal serupa dengan harta anak yatim, yaitu tidak boleh mengambil harta tersebut selama pengelolanya memiliki kecukupan, dan boleh mengambil secukupnya apabila pengelola termasuk fakir miskin.

عن عمر بن الخطاب أنه قال : إني أنزلت مال الله مني بمنزلة مال اليتيم، فإن استغنيت عففت عنه وإن افتقرت أكلت بالمعروف

Artinya: “Dari Umar bin Al-Khattab, beliau berkata: Aku memposisikan harta Allah seperti harta anak yatim. Ketika aku kaya maka aku tak mengambilnya, dan ketika aku butuh maka aku mengambil secukupnya.” (Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi, Hayatus Sahabah, [Beirut, Muassasatur Risalah: 1999 M], jilid II, halaman 505)

Dikisahkan saat beliau merasa sakit, beberapa orang menganjurkan Umar untuk meminum madu dari baitul mal. Tapi, beliau enggan melakukannya karena belum meminta izin dari masyarakat untuk mengambil madu tersebut.

Masih banyak lagi kisah dan cerita seputar kezuhudan beliau ketika berinteraksi dengan uang kas negara. Diantaranya ialah kisah anak beliau Hafsah yang meminta bagian dari baitul mal, namun beliau berkata: “Bahwa bagianmu wahai anakku ada dalam hartaku, sedangkan baitul mal ialah milik umat Muslim”.

Beliau juga pernah meminjam uang dari kas negara kala beliau membutuhkan, lalu menggantinya jika telah memiliki kecukupan. Beliau tak malu perihal itu meskipun ia adalah pemimpin negara. (Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi, Hayatus Sahabah..., jilid II, halaman 506, 507)

3. Utsman bin Affan

Pemimpin Islam yang ketiga ialah Usman bin Affan. Usman adalah sosok yang kaya, miliarder, dan pedagang yang handal. Hal itulah yang menjadikan beliau tidak mengambil upah dari kedudukan beliau sebagai khalifah.

Mengikuti jejak Umar bin Khattab, Utsman terkadang meminjam harta baitul mal untuk kepentingan jihad atau kemaslahatan umat lainnya, lalu beliau menggantinya dengan harta pribadi. (Ali Muhammad As-Sollabi, Taisiul karimil Mannan fi Sirati Utsman bin Affan, [Kairo, Darut Tawzi’ wan Nasyr Al-Islamiah: 2002 M], halaman 118, 130)

4. Ali bin Abi Thalib

Khalifah selanjutnya yang tak kalah masyhur ialah Ali bin Abi Thalib. Menantu Rasulullah yang satu ini dididik langsung oleh baginda Nabi sejak masa kecilnya sehingga kezuhudan Nabi amat tergambar jelas pada sosok Ali.

Sifat inilah yang beliau pegang erat tatkala memimpin kaum Muslimin. Harta umat Islam yang tersimpan di baitul mal tak pernah disentuhnya kecuali untuk kemaslahatan umat dan kekuasaan beliau tak digunakan untuk keuntungan pribadi ataupun koleganya.

Hal itu terlihat jelas dari salah satu riwayat Harun bin Antarah, dari ayahnya, beliau berkata: “Aku menemui Ali di suatu tempat namanya Khuznaq di musim dingin. Ali kala itu menggunakan pakaian beludru, dan terlihat menggigil. Maka aku berkata: “Wahai amirul Mukminin, Sesungguhnya Allah telah menjadikan untukmu dan keluargamu dari harta ini (baitul mal), sehingga engkau bisa memanfaatkannya”.

Ali menjawab: “Demi Allah aku tak akan mengambil harta ini sedikitpun, dan beludru yang aku bawa dari rumahku ini sudah cukup bagiku.”(Ali Muhammad As-Sollabi, Siratu Amiril Mu’minin Ali bin Abi Thalib, [Kairo, Muassasah Iqra’: 2005 M], halaman 216).

Itulah beberapa kisah teladan dari para khalifah Islam dahulu kala dihadapkan dengan uang kas negara. Sudah semestinya para pejabat sekarang untuk merenungi kisah-kisah demikian agar berpikir dua kali di saat ada kesempatan untuk bertindak korupsi ataupun berlaku khianat pada negara. Wallahu ‘alam

Muhammad Sunandar, Alumni Universitas Al-Ahgaff.


You Might Also Like