Gus Baha menjelaskan pandangannya tentang poligami dan mengapa memilih untuk memiliki satu istri. Temukan wawasan mendalam di sini.
Jakarta - Poligami sering menjadi topik perdebatan di kalangan umat Islam, terutama ketika tokoh-tokoh berpengaruh mengemukakan pandangan mereka. Salah satu pendakwah terkenal, KH Ahmad Bahauddin Nursalim, atau lebih dikenal sebagai Gus Baha, memberikan perspektif unik tentang poligami dalam salah satu ceramahnya.
Gus Baha dikenal dengan pendekatan humoris namun reflektif dalam menyampaikan pandangannya, yang tidak hanya mengundang tawa tetapi juga memberikan pemahaman yang mendalam.
Dalam sebuah kajian yang disiarkan melalui kanal YouTube @pengaosangusbaha, Gus Baha mengisahkan interaksinya dengan seorang nasionalis yang menanyakan pandangannya terkait poligami.
Sang penanya mengaitkan praktik poligami yang dilakukan beberapa nabi dengan anggapan bahwa poligami hanyalah bentuk dari "hiperseksualitas". Gus Baha dengan cerdas membalik pertanyaan ini dan memancing refleksi lebih dalam.
Dalam dialog tersebut, Gus Baha bertanya kepada si penanya, “Perempuan itu makhluk lemah, kan? Kalau nolong satu yang lemah itu baik, lalu kenapa kalau nolong dua jadi tidak baik?” Mendengar jawaban tersebut, hadirin tertawa terbahak-bahak.
Namun, setelah memberikan jawaban yang mengundang tawa tersebut, Gus Baha buru-buru meluruskan bahwa dirinya tidak serta-merta mendukung poligami.
Gus Baha Tak Dukung Poligami
Gus Baha menegaskan bahwa ia sekadar bercanda dalam menyampaikan cerita tersebut dan menambahkan, “Saya tidak mendukung poligami, ini hanya cerita.” Pernyataan ini menekankan bahwa Gus Baha tidak menempatkan dirinya sebagai pendukung poligami, melainkan menggunakan cerita tersebut sebagai pengantar untuk menjelaskan pandangan yang lebih luas.
Di Indonesia, poligami memang memiliki berbagai tafsiran dan menjadi isu yang cukup kompleks. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), poligami didefinisikan sebagai praktik seorang laki-laki yang menikah dengan lebih dari satu perempuan dalam waktu yang bersamaan.
Dalam bahasa Arab, poligami disebut “ta’addud al-zaujat,” yang berarti "memiliki banyak istri." Dalam tinjauan sejarah, praktik ini telah berlangsung sejak zaman dahulu dan ditemukan di berbagai budaya.
Mengutip nu.online.com, poligami dalam ajaran Islam memiliki landasan yang merujuk pada ayat-ayat dalam Al-Qur'an. Misalnya, dalam surat An-Nisa ayat 3, yang mengizinkan seorang laki-laki untuk menikahi lebih dari satu istri dengan syarat berlaku adil. Namun, ayat ini juga memperingatkan bahwa ketidakadilan bisa membawa keburukan, sehingga monogami dianggap lebih ideal jika keadilan sulit diwujudkan.
Teori Monogami
Teori mubadalah, yang dijelaskan dalam buku Qira’ah Mubadalah karya Faqihuddin Abdul Qodir, melihat poligami sebagai suatu masalah dalam relasi suami-istri. Perspektif ini berpendapat bahwa poligami sering kali menimbulkan kerugian, terutama jika keadilan tidak dapat ditegakkan.
Ayat yang sering menjadi dasar kebolehan poligami di Al-Qur’an, yaitu QS. An-Nisa [4]: 3, mengandung empat bagian utama. Ayat ini mengingatkan untuk tidak menzalimi anak-anak yatim, mengizinkan menikahi hingga empat perempuan dengan syarat adil, dan menegaskan bahwa monogami lebih aman jika khawatir tidak dapat berlaku adil. Pandangan ini didukung dalam QS. An-Nisa [4]: 129, yang menyebutkan bahwa manusia sulit untuk berbuat adil, sekalipun memiliki niat baik.
Menurut Faqihuddin Abdul Qodir, narasi monogami lebih Islami dan sejalan dengan ajaran Al-Qur’an dibandingkan dengan poligami. Monogami dianggap lebih dekat kepada keadilan, seperti yang diajarkan dalam Islam.
Selain itu, pandangan ini didukung dengan konsep bahwa kesabaran juga berlaku bagi laki-laki. Jika perempuan dianjurkan untuk bersabar saat menghadapi poligami, laki-laki pun sebenarnya diharapkan bersabar dan tidak memilih poligami demi mencapai derajat mulia di sisi Allah.
Perempuan dalam konteks mubadalah juga memiliki hak untuk menolak poligami. Kaidah fiqih mendukung bahwa menghindari keburukan lebih utama daripada mengambil kebaikan. Dengan demikian, penolakan terhadap poligami didasarkan pada upaya menjauhkan diri dari kerusakan atau mudarat, baik secara fisik, psikis, ekonomi, maupun sosial.
Lebih lanjut, perempuan juga berhak untuk meminta cerai jika suaminya memilih poligami tanpa persetujuan. Hal ini berbeda dengan pandangan tradisional yang cenderung menuntut perempuan untuk bersabar dalam menghadapi poligami dan menerima keadaan demi dianggap sebagai istri salehah.
Dengan pandangan-pandangan tersebut, Gus Baha memberikan perspektif yang mengarahkan umat agar memahami nilai keadilan dan mempertimbangkan setiap keputusan yang diambil dalam rumah tangga. Pandangan kritis ini mengajak masyarakat untuk melihat lebih dalam terhadap praktik poligami, dengan mempertimbangkan dampak serta maslahat yang mungkin timbul.