Buya Yahya menekankan pentingnya bijak dalam menghadapi perceraian dalam Islam, bukan berdasarkan hawa nafsu.
Jakarta - Perceraian dalam Islam memang diperbolehkan, namun perlu diingat bahwa perceraian adalah sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Dalam pandangan KH Yahya Zainul Ma'arif, atau yang lebih akrab disapa Buya Yahya, perceraian bukanlah sekadar jalan keluar dari masalah, melainkan sebuah pelajaran berharga bagi setiap pasangan.
Buya Yahya mengingatkan bahwa keputusan untuk bercerai seharusnya diambil setelah semua upaya untuk mempertahankan rumah tangga dilakukan. Ia menekankan pentingnya untuk tidak mengambil keputusan berdasarkan emosi atau hawa nafsu. Jika seseorang menceraikan pasangannya dalam keadaan marah, biasanya keputusan tersebut akan membawa penyesalan di kemudian hari.
Dalam tayangan di YouTube @buyayahyaofficial, Buya Yahya menjelaskan bahwa Islam memberikan ruang untuk perceraian, tetapi dengan syarat-syarat yang ketat. Ia menyatakan, "Cerai itu ada dalam Islam untuk belajar, bukan untuk melampiaskan hawa nafsu." Ini menunjukkan bahwa perceraian harus dipandang sebagai langkah terakhir, bukan sebagai solusi instan untuk masalah yang dihadapi.
Dalam konteks hukum Islam di Indonesia, salah satu alasan utama istri menggugat cerai adalah kurangnya nafkah yang diberikan oleh suami. Nafkah menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhi kebutuhan dasar istri dan anak-anak, termasuk pangan, sandang, dan tempat tinggal. Ketika suami gagal memenuhi tanggung jawab ini, istri berhak untuk mengajukan gugatan cerai di pengadilan agama.
Namun, gugatan cerai yang diajukan oleh istri tidak serta-merta dikabulkan. Pengadilan agama memiliki proses panjang dalam mengkaji alasan yang diajukan. Istri perlu memberikan bukti konkret mengenai ketidakmampuan suami dalam memenuhi nafkah, seperti rincian pengeluaran dan kondisi keuangan keluarga. Hal ini penting agar pengadilan dapat mengambil keputusan yang adil dan bijaksana.
Persyaratan untuk Mengajukan Gugatan Cerai
Dalam syariat Islam, gugatan cerai oleh istri atas dasar kurangnya nafkah harus memenuhi sejumlah syarat. Sayyid Abdurrahman bin Husain bin Umar al-Hadrami dalam kitabnya menjelaskan bahwa syarat-syarat ini mencakup ketidakmampuan suami untuk menyediakan nafkah minimum yang mencakup kebutuhan makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
Standar nafkah minimum juga diatur dalam kitab fikih. Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairami menjelaskan bahwa nafkah minimum yang wajib meliputi makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Jika suami gagal memenuhi kebutuhan minimum tersebut, istri berhak menggugat cerai, kecuali jika ia mampu dan tetap memenuhi nafkah tersebut.
Perceraian Bukanlah Perkara Mudah
Perceraian dalam Islam bukanlah perkara yang bisa dianggap sepele. Meskipun diperbolehkan, proses perceraian tetap harus memenuhi syarat dan mengikuti prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Setiap pihak harus terlindungi hak-haknya, dan keputusan harus diambil dengan bijak.
Menurut Buya Yahya, perceraian adalah pelajaran bagi mereka yang mengalaminya, bukan cara untuk membalas dendam atau melampiaskan amarah. Islam mengajarkan keseimbangan dan ketenangan dalam menghadapi masalah rumah tangga. Proses hukum perceraian dirancang agar semua pihak mendapatkan keadilan, dan pengadilan agama diharapkan mampu menilai setiap kasus dengan bijak.
Meski seorang istri boleh mengajukan gugatan cerai jika syarat-syarat tertentu terpenuhi, tindakan ini tidak boleh dilakukan secara gegabah. Semua keputusan harus melalui proses yang sah dan adil, agar tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari.