Keterlambatan Data Kemiskinan: Tantangan Kredibilitas dan Tata Kelola

Keterlambatan Data Kemiskinan: Tantangan Kredibilitas dan Tata Kelola

Pakar UGM soroti keterlambatan rilis data kemiskinan oleh BPS, pentingnya kredibilitas dan tata kelola data.

Keterlambatan Rilis Data Kemiskinan: Apa yang Terjadi?

Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini merilis data kemiskinan untuk Maret 2025, mencatat penurunan menjadi 8,47 persen. Ini adalah angka terendah dalam dua dekade terakhir. Namun, keterlambatan rilis data ini menimbulkan pertanyaan di kalangan publik dan pakar. Apakah penundaan ini murni teknis atau ada unsur politisasi, terutama menjelang pilkada?

Nurhadi, Ph.D., pakar dari PSdK FISIPOL UGM, menilai keterlambatan ini dari dua sisi. Di satu sisi, jika penundaan bertujuan meningkatkan kualitas dan validitas data, maka itu adalah langkah positif. Namun, transparansi kepada publik harus tetap dijaga. Jika ada penundaan, harus ada komunikasi yang jelas mengenai metodologi dan alasan teknis lainnya.

Dampak Keterlambatan dan Pentingnya Transparansi

Keterlambatan ini berisiko pada siklus perencanaan kebijakan. Pemerintah pusat dan daerah sangat bergantung pada data kemiskinan untuk menyusun program perlindungan sosial. Tanpa data terbaru, intervensi kebijakan bisa meleset. Selain itu, kepercayaan publik terhadap BPS sebagai institusi statistik nasional bisa tergerus, terutama jika penundaan terjadi berulang kali dalam konteks politik.

Nurhadi menekankan pentingnya menjaga independensi BPS dari intervensi politik, terutama menjelang pemilu. Data statistik adalah milik publik, dan pemerintah hanya diberi mandat untuk mengelolanya. Oleh karena itu, keterbukaan dalam merilis data adalah bentuk pertanggungjawaban kepada warga negara.

Substansi data terbaru juga menjadi sorotan. Meskipun angka kemiskinan menurun, garis kemiskinan resmi di Indonesia masih dianggap terlalu rendah. Dengan standar sekitar Rp600 ribu per bulan per orang, banyak yang sebenarnya miskin secara riil tapi tidak terdata. Nurhadi menyarankan adopsi standar internasional seperti dari World Bank, meski harus dilakukan bertahap.

Pentingnya pemantauan bagi warga yang baru keluar dari garis kemiskinan juga ditekankan. Pendekatan berbasis pemberdayaan ekonomi lebih diutamakan daripada sekadar bantuan. Rilis data bukan hanya tugas teknis tahunan, tapi hak publik untuk menilai kinerja negara.

Dalam konteks pembangunan berbasis bukti, kualitas dan ketepatan waktu data menjadi elemen vital. Pemerintah, khususnya BPS, didorong untuk menguatkan komunikasi publik dan tata kelola statistik di masa depan.


Artikel Terkait