Gus Khayat Muda membuktikan kewalian Mbah Moen melalui pengalaman spiritual yang mendalam dan inspiratif.
Jakarta - Pada tahun 1987, seorang santri bernama Khayatul Maki atau akrab disapa Gus Khayat, yang saat itu nyantri di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Tanggir Singgahan, Tuban, merasakan panggilan untuk memahami lebih dalam tentang kewalian Syaikhona KH Maimoen Zubair, atau Mbah Moen. Rasa ingin tahunya mendorongnya untuk membuktikan sendiri apakah Mbah Moen benar-benar seorang wali yang memiliki keistimewaan.
Gus Khayat, yang merupakan murid dari KH Mushlich Abdul Karim (Mbah Shoim), merasa perlu untuk mencari tahu kebenaran tersebut. Ia pun mengungkapkan keinginannya kepada Gus Ridwan, putra pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, untuk membuktikan kewalian Mbah Moen.
Dengan tekad yang bulat, Gus Khayat merencanakan perjalanan ke rumah Mbah Moen di Sarang, Rembang, bersama temannya, Hasan Bisri. Sebelum berangkat, Gus Khayat menegaskan kepada Hasan bahwa ia hanya akan percaya Mbah Moen adalah seorang wali jika ia menemukan hidangan tertentu di sana.
"Kalau di sana nanti ada nasi beras, sayur, mie sohun, paha dan ceker ayam, serta minuman jembawuk, baru saya percaya," tegas Gus Khayat kepada sahabatnya sebelum berangkat. Ini menunjukkan betapa seriusnya Gus Khayat dalam pencariannya.
Makanan dan Minuman yang Tidak Ada di Rembang
Pada tahun 2018, Gus Khayat mendapat perintah langsung dari Mbah Moen untuk menemani beliau dalam ibadah haji. Menariknya, minuman 'jembawuk' yang dimaksud Gus Khayat adalah minuman khas dari Banjarnegara dan Banyumas, terbuat dari campuran kopi hitam, gula jawa, dan santan kelapa.
Perjalanan mereka dimulai pada Jumat sore, menggunakan sepeda onthel. Setibanya di kediaman Mbah Moen, mereka ingin mencium tangan beliau sebagai tanda penghormatan, namun Mbah Moen tidak mengizinkan mereka. "Sana langsung ke belakang, sudah ditunggu Ibu," katanya, mengarahkan mereka menuju ruang makan.
Gus Khayat sangat terkejut ketika melihat meja makan yang sudah dipenuhi hidangan sesuai dengan apa yang ia sebutkan sebelumnya. Di sana terdapat nasi beras, sayur mie sohun, dan wedang jembawuk. Momen ini menjadi titik balik bagi Gus Khayat, yang tak kuasa menahan emosinya dan menangis karena merasa telah membuktikan kewalian Mbah Moen.
Menemani Mbah Maimoen Haji Tahun 2018
Setelah menyantap hidangan, Gus Khayat dan Hasan Bisri berpamitan untuk kembali ke pesantren. Namun, Mbah Moen kembali tidak mau disalami oleh mereka, hanya menyuruh mereka untuk segera pulang dan melanjutkan ngaji di Pondok Pesantren Mbah Shoim.
Khayatul Maki, atau Gus Khayat, adalah putra KH Muhammad Hasan dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Kini, Gus Khayat mengasuh Pondok Pesantren Alif Baa di Banjarnegara, meneruskan tradisi ilmu yang diajarkan oleh guru-gurunya. Pada tahun 2018, ia mendapat perintah dari Mbah Moen untuk menemani beliau dalam ibadah haji, yang menjadi momen bersejarah karena merupakan haji terakhir bagi Mbah Moen sebelum beliau menghadap Allah SWT.
Pengalaman Gus Khayat membuktikan kewalian Mbah Moen menjadi salah satu kisah inspiratif yang mengisahkan tentang keimanan dan pencarian spiritual. Cerita ini menunjukkan bahwa keberkahan dan keajaiban sering kali datang melalui keyakinan dan ketulusan hati.
Kisah ini juga mengingatkan umat Islam akan pentingnya hubungan antara guru dan murid, serta bagaimana ketulusan dalam belajar dapat mengantarkan seseorang pada pengalaman spiritual yang mendalam. Gus Khayat terus melanjutkan warisan dan ajaran dari Mbah Moen kepada generasi selanjutnya, menjadi teladan bagi para santri dan umat.
Dengan begitu, perjalanan Gus Khayat tidak hanya menjadi bukti kewalian Mbah Moen, tetapi juga menandakan pentingnya menjaga dan menghormati tradisi keilmuan di lingkungan pesantren.