Mengapa Aktivis dan Masyarakat Angkat Bendera Perlawanan di IKN pada 17 Agustus?

Perayaan 17 Agustus di IKN diwarnai aksi aktivis dan warga mengibarkan panji perlawanan, simbol semangat perjuangan.

Jakarta - Pada Sabtu, 17 Agustus 2024, Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi saksi perayaan kemerdekaan yang berbeda. Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan warga setempat berkumpul untuk menggelar upacara yang bukan hanya sekadar mengibarkan bendera negara, tetapi juga menampilkan spanduk kritik terhadap pembangunan IKN. Di Jembatan Pulau Balang, yang berjarak 37,8 kilometer dari Istana Negara, mereka membentangkan baliho raksasa berukuran 750 meter persegi bertuliskan “Indonesia is not for sale, merdeka!” yang menjuntai ke bawah ke perairan Teluk Balikpapan.

Setelah upacara di Desa Pantai Lango, Kecamatan Penajam, para aktivis dan warga melanjutkan aksi dengan berkeliling menggunakan perahu. Mereka mengibarkan panji-panji perlawanan yang berisi pesan-pesan seperti “Selamatkan Teluk Balikpapan”, “Tanah untuk Rakyat”, dan “Belum Merdeka 100%”. Pesan-pesan ini menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk kemerdekaan belum sepenuhnya tercapai.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Muhammad Iqbal Damanik, menjelaskan bahwa aksi ini bertujuan untuk mengingatkan agar pembangunan IKN tidak dijadikan alat untuk menjual negara kepada swasta. Ia menyoroti pemberian Hak Guna Usaha (HGU) yang bisa mencapai 190 tahun di kawasan ibu kota, yang dianggapnya sebagai investasi serampangan yang merugikan rakyat.

Ketua Tim Kampanye Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menambahkan bahwa proyek pembangunan ini berpotensi merampas hak masyarakat adat dan warga lokal. Ia mengingatkan bahwa hak penguasaan lahan yang diberikan kepada investor dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dan memperburuk krisis iklim, terutama dengan adanya pembabatan hutan mangrove di Teluk Balikpapan.

IKN direncanakan akan dibangun di atas 252.600 hektare daratan dan 69.769 hektare lautan, yang berpotensi mengancam keanekaragaman hayati dan habitat satwa endemik. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim, Fathur Roziqin Fen, menyebutkan bahwa perayaan kemerdekaan ini hanyalah ilusi kemegahan, sementara konflik agraria dan dampak ekologis diabaikan.

Di tengah aksi tersebut, kepolisian datang dan meminta keterangan kepada para aktivis. Meskipun ada laporan penangkapan, pihak kepolisian membantahnya dan menyatakan bahwa mereka hanya berdiskusi. Aksi ini menunjukkan bahwa semangat perjuangan masyarakat untuk keadilan dan lingkungan tetap berkobar, meskipun dalam suasana perayaan kemerdekaan.


You Might Also Like