Psikologi Pelaku Judi Online: Mengungkap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Mengungkap faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi pelaku judi online dan fenomena judi online yang menarik dicermati.

Fenomena judi online belakangan ini menarik dicermati. Banyak fakta terungkap. Secara ekonomi, omzetnya mencapai 2 kali lipat APBN. Secara sosial, banyak ekses yang ditimbulkan. Mulai percekcokan antar kawan, perceraian, tawuran, hingga kriminalitas tingkat berat. Anak bunuh orang tua. Orang tua aniaya anak. Istri membakar suami. Suami menyakiti istri, dan lain-lain.

Uniknya, para pelaku datang dari berbagai latar belakang. Ada politisi, pejabat, ASN, pedagang, artis, mahasiswa, pelajar, hingga rakyat biasa seperti buruh, petani, dan lainnya. Kenapa fenomena ini muncul? Kenapa judi online disenangi banyak orang? Apa yang menarik dari judi online ini?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, artikel ini mencoba mengulik sisi psikologi para pelaku judi online. Meskipun judi tetap akan menjadi kebutuhan sebagian manusia sepanjang hayatnya. Tetapi fenomena judi online ini unik. Seunik kemudahan memanfaatkan teknologi informasi. Mudah, simpel, ringan, individual, dan menjanjikan harapan.

Mudah, setiap orang bisa akses. Kapanpun dan di manapun. Yang punya smartphone, punya kesempatan ikut judi online. Simpel, karena tinggal klik jadi, tidak perlu effort. Ringan, karena ragam judi online masuk semua kalangan. Individual, karena bisa dilakukan secara rahasia. Diam-diam. Tak perlu datang ke arena judi manual. Nah, yang bikin menarik, seperti judi klasikal, judi online menjanjikan harapan, meski semu.

Bagaimana psikologi para pelaku judi online? Terdapat level psikologi para pelaku judi online. Ada yang kelas berat sebagai pecandu. Ada yang level menengah. Ada pula yang level ringan, kelas iseng-iseng berhadiah. Untuk pecandu, mereka tidak memiliki takaran moral dan nilai. Hidupnya bergantung pada nasib dari hasil judi online. Apapun yang dimiliki bisa dipertaruhkan. Keluarga, aset kekayaan, pekerjaan, status sosial, bahkan nyawa sekalipun.

Bagi pelaku level menengah masih menyisakan moralitas dan nilai. Mereka sadar bahwa judi online haram. Dilarang hukum dan norma sosial. Hanya saja, mereka menyimpan harapan bahwa dengan ikut judi online siapa tahu dapat mengubah nasib. Menjadi kaya tiba-tiba. Meskipun kadang muncul perasaan berdosa. Kadang sadar, tetapi masih sering penasaran bisa menang.

Sementara pelaku level ringan sering karena iseng. Misalnya dipengaruhi faktor pergaulan. Ada temannya yang bercerita menang judi online. Lalu dia tertarik untuk mencobanya. Diam-diam dengan smartphone atau komputer. Intinya, pelaku level ringan hanya ingin mencoba karena penasaran. Ingin tahu dan membuktikan judi online. Namun, level ringan inilah yang justru sebagai sebab menjadi pecandu.

Bagaimana potret dari sisi internal pelaku judi online? Secara umum, para pelaku dapat dilihat gejala perilakunya, diantaranya:

Pertama, terpapar delusi. Pelaku judi online rerata dipengaruhi sikap ingin beruntung tanpa usaha. Bahkan bisa mencapai pada khayalan berlebih. Jika nanti menang akan beli ini, akan bangun itu, akan bisnis ini dan itu. Pikirannya dipenuhi oleh rangkaian angan yang sulit dinalar.

Kedua, self esteem tidak sehat. Bagi orang dengan self esteem sehat tidak akan menggantungkan pada harapan palsu. Para pelaku judi online terlihat self esteem-nya rendah (tidak sehat). Beberapa indikator seseorang dengan self esteem sehat adalah memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan pandangan hidup yang positif.

Sebaliknya, pelaku judi online nampak kepercayaan dirinya rendah. Kenapa? Pikirannya lebih banyak khayalan. Mengkhayal ingin mendapat uang berlimpah. Menjadi orang kaya mendadak. Artinya, tidak percaya diri dengan kemampuannya. Hasil-hasil dari pekerjaannya tidak mencukupi hidup. Tidak mampu membawa dirinya bahagia.

Ketiga, resiliensi rendah. Pecandu judi online memiliki ketahanan mental yang lemah. Tidak sabar ingin menjadi kaya. Apalagi efek psikologisnya. Kekalahan judi online berdampak besar pada harga diri seseorang dan kesejahteraan psikologis secara keseluruhan. Siklus harapan dan kekecewaan yang terus-menerus dapat menimbulkan perasaan mutung (putus asa).

Keempat, self efficacy lemah. Keyakinan seseorang pada kemampuannya untuk melakukan dan mengorganisasi capaian tertentu. Keyakinan seseorang pada efikasinya dapat berkembang melalui pengalaman sukses dalam mengatasi masalah.

Seseorang dengan efikasi diri kuat akan tekun dalam meningkatkan usaha. Meski dijumpai pengalaman yang memperlemahnya. Sedangkan seseorang dengan efikasi diri rendah mudah goyah oleh pengalaman tersebut. Bagi pelaku judi online jelas memiliki efikasi diri rendah karena kebergantungannya pada harapan yang tidak jelas. Nasibnya diadu oleh model keberuntungan yang tidak jelas.

Kelima, problem kepercayaan. Penjudi online adalah orang yang tidak percaya terhadap otoritas takdir Tuhan. Tuhan telah menentukan takaran rezeki setiap orang. Hanya saja, penjudi online justru melawan arus takdir untuk mendapatkan keberuntungan. Apalagi jika dicampur dengan perilaku khurafat, seperti datang kepada dukun.

Pecandu judi online bisa jadi tergolong orang yang mengalami depresi spiritual. Suatu kondisi yang membuat seseorang kehilangan keyakinan terhadap Sang Pencipta. Rejeki yang Tuhan berikan kepada hamba-Nya dianggap ilusi. Sehingga hal tersebut dapat menggiringnya tidak lagi merasa yakin akan kebesaran Sang Pencipta.

Keenam, problem kognitif yang nyata. Pelaku judi online menggambarkan dirinya pecinta dunia. Dia mengundi nasib untuk meraih kekayaan sebanyak-banyaknya. Tidak peduli yang dilakukan itu haram. Filosofinya, modal sedikit, untung melimpah.

Orang yang mencintai dunia, kata Imam al-Ghazali, sebenarnya orang yang sangat bodoh. Secara psikologis, perilaku judi online memiliki problem kognitif.

Thobib Al Asyhar, Dosen SKSG Universitas Indonesia (UI), Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Kemenag RI.


You Might Also Like