Alasan Mbah Moen Tidak Mengizinkan Santrinya Memakai Peci Putih Menurut Gus Baha
Jakarta - Dalam sebuah ceramah yang menarik, KH Ahmad Bahauddin Nursalim, lebih dikenal sebagai Gus Baha, membagikan pandangan unik dari KH Maimoen Zubair atau Mbah Moen mengenai penggunaan peci putih oleh santrinya. Hal ini menjadi topik yang menarik perhatian banyak orang, terutama di kalangan pesantren.
Gus Baha menjelaskan bahwa Mbah Moen memiliki alasan yang mendalam terkait ketidakizinnya bagi santrinya untuk mengenakan peci putih. Menurutnya, pemakaian peci putih bukan sekadar soal penampilan, tetapi juga menyangkut nilai-nilai yang ingin ditanamkan kepada santri. Mbah Moen percaya bahwa peci putih dapat membawa konotasi tertentu yang tidak selalu positif di mata masyarakat, khususnya di desa-desa.
Dalam pandangan Mbah Moen, peci putih sering kali diasosiasikan dengan orang yang baru pulang haji. Hal ini menjadi perhatian khusus bagi Mbah Moen, yang merasa bahwa simbol tersebut bisa menyakiti perasaan masyarakat desa yang telah berjuang keras untuk menunaikan ibadah haji. Gus Baha mengingatkan kita bahwa menunaikan ibadah haji bukanlah hal yang mudah, dan banyak orang yang harus mengorbankan harta mereka untuk mencapai tujuan tersebut.
Gus Baha mengutip Mbah Moen, yang pernah menegur santrinya yang menggunakan peci putih, dengan ungkapan, "Wong ndeso dilakoni adl tegalan, adol sawah go mangkat haji, kok mbok disaingi peci putih regi Rp5 ribu." Ini menunjukkan betapa sensitifnya isu ini bagi masyarakat desa yang telah berjuang keras untuk menunaikan ibadah haji.
Lebih lanjut, Gus Baha menjelaskan bahwa Mbah Moen sangat menghargai pengorbanan orang-orang desa yang rela menjual sawah atau tanah demi menunaikan ibadah haji. Oleh karena itu, Mbah Moen merasa bahwa santrinya harus peka terhadap perasaan orang lain dan tidak menggunakan simbol-simbol yang bisa menimbulkan kesalahpahaman.
Pentingnya Kesadaran Sosial dalam Berpakaian
Gus Baha juga menyoroti bahwa ada beberapa kiai yang tetap menggunakan peci putih karena menganggapnya sebagai sunnah. Namun, bagi Mbah Moen, konteks sosial di masyarakat desa sangat penting untuk dipertimbangkan. Mbah Moen ingin agar santrinya tidak hanya fokus pada aspek ibadah, tetapi juga memperhatikan dampak sosial dari tindakan mereka.
Setelah menunaikan ibadah haji, Gus Baha sendiri lebih memilih untuk mengenakan peci hitam. Ini menunjukkan bahwa meskipun ia telah sah menjadi seorang haji, ia tetap menghormati nilai-nilai yang diajarkan oleh Mbah Moen. Kebiasaan ini menunjukkan betapa pentingnya tradisi dan nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Serban dan Tradisi Pesantren
Selain peci, Gus Baha juga membahas tentang penggunaan serban dalam tradisi pesantren. Ia menjelaskan bahwa ada aturan tertentu yang harus diikuti sebelum seseorang dianggap pantas mengenakan serban. Ini menunjukkan bahwa dalam dunia pesantren, ada kaidah-kaidah yang perlu dihormati dan dipatuhi.
Gus Baha menekankan bahwa tidak semua tradisi sunnah harus dijalankan secara harfiah. Ada beberapa sunnah yang lebih relevan dengan konteks masyarakat tertentu, dan Mbah Moen sangat bijak dalam memahami sensitivitas budaya lokal. Inilah yang menjadi alasan mengapa Mbah Moen lebih memilih agar santrinya tidak mengenakan peci putih.
Melalui kisah ini, Gus Baha mengajak kita untuk lebih memahami pentingnya menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Dalam menjalankan amalan agama, sikap rendah hati dan peka terhadap kondisi sosial menjadi sangat penting agar tidak menimbulkan ketegangan atau perasaan tidak nyaman bagi orang lain.
Kisah Mbah Moen dan peci putih ini menjadi salah satu pelajaran berharga tentang bagaimana menjaga harmoni antara amalan agama dan kehidupan sosial di masyarakat. Dengan memahami konteks sosial, kita dapat menjalankan ibadah dengan lebih bijaksana dan menghargai pengorbanan orang lain.