Life

Apakah Istri Bisa Mengajukan Gugatan Cerai karena Suami Berselingkuh?

Kasus perselingkuhan tampaknya menjadi masalah serius dalam hubungan rumah tangga. Komitmen yang dibangun sejak awal bisa runtuh seketika dengan adanya perselingkuhan. Dampak negatif dari perselingkuhan bisa menjadi hal yang serius bagi keberlanjutan rumah tangga.

Perselingkuhan dan perbuatan zina dapat membuat keharmonisan rumah tangga menjadi retak, menghilangkan kepercayaan terhadap pasangan, pertengkaran, dan perselisihan. Bahkan seringkali perselingkuhan berdampak pada hak-hak sang istri yang tidak terpenuhi. Bagi istri yang berada pada situasi seperti ini, tak jarang memutuskan untuk bercerai dengan suaminya.

Lantas, apakah dia memiliki hak untuk mengajukan gugatan cerai suami dengan dalih selingkuh?

Perselingkuhan dan perbuatan zina termasuk salah satu dosa besar dalam Islam. Dampak negatifnya pun sangat besar baik bagi pelaku maupun orang sekitar, termasuk dalam hubungan rumah tangga. Dalam Al-Qur'an, Allah secara tegas melarang mendekati perbuatan zina: "Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk" (QS Al-Isra: 32).

Orang yang sudah menikah namun masih melakukan zina, hukumannya lebih berat daripada orang yang masih lajang. Dalam hukum Islam, perbuatan zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah disebut zina muhsan. Hukumannya adalah dirajam dengan dilempari batu seukuran telapak tangan sampai mati.

Meski penegakan hukum bagi pelaku zina muhsan tidak diterapkan dalam konteks Indonesia, akan tetapi perbuatan perselingkuhan yang sampai mengarah kepada zina sangat dikecam dan dibenci oleh setiap kalangan.

Adapun mengenai gugatan cerai, dalam hukum Islam hak cerai atau talak secara eksklusif memang sepenuhnya berada di tangan suami. Namun demikian, istri memiliki hak mengajukan gugatan cerai sebagai bentuk perlindungan kepadanya. Gugatan cerai yang diajukan istri kepada suami dalam Islam dinamakan khulu'.

Khulu' didefinisikan sebagai perceraian dengan memberikan kompensasi atau tebusan ('iwadh) kepada suami. Dengan artian, sang istri menebus dirinya kepada suami dengan membayar sejumlah harta yang disepakati. Perempuan pertama yang mengajukan gugat cerai (khulu') dalam sejarah Islam adalah Ummu Habibah binti Sahl istri Tsabit bin Qais.

Gugatan cerai dari istri (khulu') pada dasarnya memang merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah karena memutus ikatan pernikahan sebagaimana halnya talak. Namun demikian, para ulama menyatakan bahwa istri boleh mengajukan cerai (khulu') dengan dalih tidak senang terhadap akhlak dan agama sang suami yang buruk, atau karena tidak diperlakukan dengan baik.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa seorang istri boleh mengajukan gugatan cerai (khulu') jika sang suami terbukti melakukan perselingkuhan atau zina. Sebab selingkuh dan zina sudah cukup menunjukkan buruknya akhlak dan agama sang suami.

Sementara dalam konteks hukum positif Indonesia, seorang istri boleh mengajukan gugatan cerai karena suami melakukan zina sebagaimana diatur dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Aturan gugat cerai istri dalam kasus ini juga disebutkan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

Baik menurut hukum Islam maupun dalam konteks hukum positif, seorang istri boleh mengajukan gugatan cerai karena suaminya berselingkuh atau zina. Hanya saja, terdapat perbedaan antara khulu' dan gugat cerai dalam hukum positif. Khulu' merupakan perceraian dengan membayar uang sebagai kompensasi (iwadh), sementara gugat cerai dalam hukum positif tidak mesti disertai dengan kompensasi (iwadh).

Alangkah baiknya masyarakat mengacu pada ketentuan yang sudah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Aturan terkait gugat cerai sudah diatur dalam KHI dengan pertimbangan dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Tentu langkah ini menjadi alternatif terakhir yang diambil setelah mencoba alternatif lainnya untuk memperbaiki hubungan rumah tangga. Wallahu a'lam.

Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaikhona Moh. Cholil Bangkalan Jawa Timur