Kriteria Batu Kerikil yang Ideal untuk Lempar Jamrah
Lontar jamrah atau lempar jamrah merupakan salah satu kegiatan yang menjadi bagian dari ritual ibadah haji di kota suci Makkah, Arab Saudi. Ritual lempar jamrah ini dilakukan mulai pada tanggal 10 Dzulhijjah di kota Mina yang terletak sebelah timur Makkah setelah ritual Wukuf di Arafah dan Mabit di Muzdalifah.
Hukum melontar jamrah adalah wajib sehingga bagi jemaah haji yang tidak melaksanakannya akan dikenakan denda atau dam berupa seekor kambing dan hajinya tetap dihukumi sah. Ritual ini dilakukan dengan cara melemparkan tujuh batu kecil atau kerikil ke tiga tiang yang berada dalam kompleks Jembatan Jamrah, di Kota Mina.
Lantas, bagaimana kriteria batu kerikil yang sah untuk digunakan melontar jamrah?
Dalam madzhab Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, melempar jamrah hanya diperbolehkan menggunakan batu. Artinya menggunakan benda yang tergolong dalam jenis batu-batuan, apapun itu bentuknya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, melempar jamrah dapat dilakukan dengan benda apapun yang termasuk bagian bumi, artinya tidak harus dengan batu.
Artinya: "Dan harus berupa batu, seperti yang dikatakan imam Malik dan Ahmad ... maka boleh dengan batu pualam, bram, kazan, dan segala jenis batu lainnya, termasuk batu kapur sebelum matang dan menjadi kapur ... Abu Hanifah ra, berkata bahwa boleh melontar dengan sesuatu yang tidak terpatri (dicetak/ dibentuk) dari lapisan bumi, seperti arsenik, kapur, dan sejenisnya." (Ar-Rafi’i, Al-Aziz Syarhul Wajiz [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1997] juz III, halaman 437)
Dalam kitab Al-Hawi fii Fikih Al-Syafi'i (4/179), Imam Al-Mawardi menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan melempar jamrah kecuali dengan sesuatu yang disebut batu, baik batu itu lunak atau keras. Adapun benda-benda yang tidak disebut batu seperti batu bata, tanah liat, plester, kapur, arsen, perak, emas, tembaga dan timah, serta mutiara dan garam, maka tidak boleh digunakan untuk melempar jamrah.
Berpijak pada pendapat Syafi’iyah, tidak ada ketentuan khusus terkait batu yang dapat digunakan untuk melontar jamrah. Sehingga asalkan benda itu disebut batu maka sah untuk digunakan melontar jamrah. Hanya saja terdapat kesunnahan dalam memilih batu yang digunakan, yaitu disunnahkan menggunakan batu kerikil seukuran kacang polong dan suci.
Artinya: "Sunahnya adalah melemparkan sesuatu seperti kerikil yang ukuran panjang dan lebarnya kurang dari seujung jari seukuran kacang polong. Jika seseorang melempar dengan batu yang lebih kecil atau lebih besar maka hukumnya makruh dan tetap sah. Dan disunnahkan menggunakan batu yang suci." (Ar-Rafi’i, Syarhul Wajiz, juz III, halaman 437)
Selain itu, batu-batu yang makruh namun sah untuk digunakan antara lain batu yang najis, batu yang diambil dari tanah halal atau dari masjid dan batu yang sudah digunakan untuk melontar jamrah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Zakariya Anshari:
Artinya: "Cukup melempar batu kapur sebelum dimasak, dan disunnahkan melempar batu sebesar kerikil yang seukuran kacang polong, dan makruh melempar dengan batu yang lebih kecil dari itu atau yang lebih besar. Makruh melempar dengan batu yang najis, dan dengan batu yang diambil dari tempat halal atau dari masjid, yaitu jika itu bukan bagian dari masjid, jika itu bagian masjid maka hukumnya haram, dan makruh dengan batu yang sudah dilemparkan, karena dikatakan: sesungguhnya batu yang diterima itu diangkat dan yang ditolak itu ditinggalkan, kemudian jika dia melempar dengan batu-batu yang dimakruhkan tadi, maka diperbolehkan/ sah." (Zakariya Al-Anshari, Ghurarul Bahiyah Syarhul Bahjah [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1997] juz VIII, Halaman 46)
Simpulan
Kriteria batu kerikil yang digunakan melontar jamrah, menurut Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad adalah segala benda yang disebut termasuk dari jenis batu-batuan, dan disunnahkan batu itu seukuran kacang polong, suci, tidak dari tanah halal dan masjid, serta belum digunakan untuk melempar jamrah. Sedangkan menurut Abu Hanifah melempar jamrah dapat dilakukan dengan segala benda yang termasuk dalam bagian bumi dan tidak harus berupa batu. Wallahu a’lam.
Muhammad Zainul Millah, Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar Jawa Timur.