Pelajari pandangan Gus Baha tentang hukum hajatan yang dianggap haram dan alasan di baliknya.
Cilacap - Hajatan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah acara seperti resepsi atau selamatan. Biasanya, hajatan ini diadakan untuk pernikahan, khitanan, dan acara penting lainnya. Namun, ada pandangan menarik dari Gus Baha, seorang ulama yang dikenal luas, mengenai hukum menggelar hajatan.
Tradisi hajatan telah menjadi bagian dari budaya masyarakat kita. Ketika ada momen penting, seperti pernikahan, banyak orang merasa perlu untuk mengadakan hajatan sebagai bentuk perayaan. Namun, Gus Baha, murid kinasih Mbah Moen, mengemukakan pendapat yang berbeda tentang hal ini.
Menurut Gus Baha, menggelar hajatan hukumnya haram. Ini bukan sekadar pernyataan, melainkan didasari oleh beberapa argumen yang penting untuk dipahami. Dalam pandangannya, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan oleh masyarakat sebelum memutuskan untuk menggelar hajatan.
Gus Baha menjelaskan bahwa keyakinannya ini adalah pandangan pribadi dan tidak harus diikuti oleh orang lain. Ia menekankan, "Karena keyakinan saya, hajatan itu haram. Ini menurut pandangan saya pribadi. Kalau Anda silahkan," ungkapnya dalam sebuah tayangan YouTube.
Salah satu alasan utama Gus Baha mengharamkan hajatan adalah terkait dengan sumbangan yang sering kali diminta dari orang lain. Ia berpendapat bahwa sumbangan tersebut sering kali membuat orang merasa terbebani. "Awal mula shodaqoh menggerutu itu perkara orang buwoh (memberi uang ke yang punya hajat). Kalau tidak buwoh tidak pantas, jadi jatuhnya shodaqoh dipaksa," jelasnya.
Lebih lanjut, Gus Baha menambahkan bahwa shodaqoh seharusnya dilakukan dengan ikhlas. Namun, ketika ada tekanan untuk memberikan sumbangan, hal ini bisa menimbulkan masalah. "Shodaqoh itu sudah ibadah riskan rawan masalah. Kalau kamu memberinya ikhlas bagus, tapi sekalinya tidak ikhlas rawan diungkit-ungkit," imbuhnya.
Karena pandangannya ini, Gus Baha mengaku tidak pernah menghadiri acara hajatan, bahkan ketika yang menikah adalah putra gurunya. "Makanya saya tidak pernah datang ke acara buwoh. Saat putra guru saya nikah, saya tidak datang. Memang sengaja, sudah pada tahu kalau madzhab saya gitu," ujarnya.
Gus Baha juga menceritakan pengalamannya saat menikahi istrinya. Ia datang sendiri tanpa rombongan dan perayaan. "Saya dulu pas nikah, punya anak buah banyak dan punya mobil banyak. Tapi saya nikah dari Jogja ke Pasuruan, istri saya dari Pasuruan naik bisa sendirian. Lalu sampai di sana diantar bapak lalu nikah," kenangnya.
Dengan keyakinan yang kuat, Gus Baha menyatakan bahwa ia tidak akan menggelar hajatan saat pernikahan anak perempuannya. "Saya punya anak perempuan, saya bilang ke istri saya. Kalau saya masih hidup tidak akan punya hajat (resepsi)," pungkasnya. Ini adalah pandangan yang patut kita renungkan, terutama dalam konteks budaya dan tradisi yang kita jalani.