Mencuci kaki dalam pernikahan memiliki makna mendalam. Gus Baha menjelaskan hukum dan nilai spiritual di balik tradisi ini.
Jakarta - Tradisi mencuci kaki dalam pernikahan bukan sekadar ritual, melainkan memiliki makna yang dalam. Dalam konteks ini, Gus Baha menjelaskan bahwa praktik ini sering dilakukan sebagai simbol penghormatan dan pengabdian antara pasangan.
Dalam prosesi ini, mempelai wanita mencuci kaki mempelai pria, yang dianggap sebagai bentuk pengakuan terhadap peran suami dalam kehidupan rumah tangga yang akan dijalani. Ini adalah langkah awal yang menunjukkan kesiapan dan keseriusan memulai hidup baru bersama.
Setelah akad nikah, tradisi mencuci kaki menjadi bagian dari rangkaian acara. Gus Baha, dalam diskusi di kanal YouTube @Pengaosangusbaha, menjelaskan pandangannya tentang prosesi ini dalam konteks fikih dan adat yang kerap dilakukan masyarakat di berbagai daerah.
Dalam diskusi tersebut, Gus Baha menyebutkan bahwa hampir 90% ulama membolehkan tradisi mencuci kaki pengantin pria. Mereka berpendapat bahwa prosesi ini tidak bertentangan dengan syariat. Namun, ada sekitar 10% ulama yang tidak setuju dan menganggap praktik ini sebagai bid’ah.
Ulama Umumnya Membolehkan Tradisi Ini
Gus Baha menyatakan, “Secara umum, kebanyakan ulama memperbolehkan karena dianggap sebagai adat yang tidak melanggar syariat. Namun, sekitar 10% berpendapat bahwa ini bid’ah.” Ia mengakui setuju dengan fatwa dari kelompok yang 10% tersebut.
Lebih lanjut, Gus Baha menjelaskan alasan dari kelompok yang menganggap mencuci kaki sebagai bid’ah. Salah satu argumennya adalah bahwa tindakan mencuci kaki lebih relevan dilakukan saat seseorang pulang dari sawah atau tempat yang kotor. Dalam prosesi pernikahan, kaki pengantin pria sebenarnya sudah bersih.
“Kalau niatnya membersihkan kaki, maka hal itu lebih masuk akal dilakukan saat seseorang baru pulang dari sawah. Tapi kalau kakinya sudah bersih, lalu dicuci, ya itu dianggap hanya sebagai bentuk pamer,” jelas Gus Baha.
Pahami Makna di Balik Tradisi Ini
Dalam pandangan ini, prosesi mencuci kaki dianggap sekadar menunjukkan atau 'riya' karena dilakukan di depan umum. Gus Baha menekankan bahwa jika ingin mencuci kaki sebagai bentuk kesetiaan, seharusnya dilakukan ketika kakinya memang kotor, bukan saat sudah bersih.
Meski memiliki pendapat berbeda, Gus Baha tetap menghargai pandangan mayoritas ulama yang menganggap prosesi tersebut sebagai bentuk adat yang masih bisa diterima dalam syariat. Ia menyatakan bahwa perbedaan pandangan ini merupakan bagian dari keragaman pendapat dalam fikih.
Menurut Gus Baha, setiap orang sebaiknya mempertimbangkan pandangan ulama yang paling sesuai dengan pemahaman masing-masing. Ia lebih cenderung menyetujui pandangan bahwa mencuci kaki pengantin pria dalam upacara pernikahan sebagai bentuk bid’ah.
Gus Baha juga mengingatkan bahwa niat menjadi hal utama dalam menentukan hukum suatu perbuatan. Jika niat mencuci kaki itu hanya sekadar untuk ritual tanpa dasar yang jelas, maka ia termasuk bid’ah. “Intinya adalah niat. Kalau hanya sekadar pamer atau riya, itu yang tidak baik,” ungkapnya.
Gus Baha memberikan contoh bahwa segala bentuk adat yang tidak memiliki dasar agama perlu dilihat secara kritis, khususnya dalam upacara pernikahan. Ia menyebutkan bahwa pernikahan seharusnya difokuskan pada makna ikatan yang sakral, bukan pada ritual tambahan yang tidak substansial.
Di akhir pembahasannya, Gus Baha berpesan agar setiap orang lebih berhati-hati dalam mengikuti prosesi adat yang tidak memiliki dasar syariat. Memahami perbedaan antara ajaran agama dan adat dapat membantu seseorang menjalani pernikahan dengan lebih bermakna.
Gus Baha menyarankan agar prosesi pernikahan difokuskan pada kesakralan akad nikah serta perjanjian yang dibuat di hadapan Allah. Upacara pernikahan yang benar adalah yang lebih mengutamakan nilai-nilai agama dan etika.
Dengan memahami tradisi dalam konteks agama tanpa melanggar prinsip syariat, seseorang dapat menjalankan prosesi adat dengan lebih bijak tanpa terjebak dalam hal yang dianggap bid’ah.