UAH Mengingatkan Pentingnya Hati-hati dalam Menyebut Bid'ah

Ustaz Abdul Somad (UAH) mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam menyebut bid'ah dan memahami konteksnya.

Jakarta - Fenomena di mana seseorang dengan mudah melabeli suatu amalan sebagai bid'ah tanpa kajian mendalam menjadi perhatian khusus Ustaz Abdul Somad (UAH). Dalam ceramahnya, UAH menekankan pentingnya kehati-hatian dalam berucap dan memahami konteks sebelum memberikan penilaian.

Banyak orang yang terburu-buru menyebut sesuatu sebagai bid'ah hanya karena tidak menemukan contoh langsung dari Nabi Muhammad SAW. Menurut UAH, sikap seperti ini dapat menyesatkan jika tidak didasari oleh pemahaman yang benar tentang kaidah-kaidah syariat.

UAH menjelaskan bahwa ada banyak kaidah dalam menentukan apakah suatu amalan tergolong bid'ah atau tidak. Amalan yang tidak ada contohnya dari Nabi tidak selalu berarti bid'ah. Oleh karena itu, penting untuk memahami dasar-dasar dari setiap amalan agar tidak sembarangan melabeli sesuatu sebagai bid'ah.

Dikutip dari tayangan video di kanal YouTube @AMUSTCHANNELm7, UAH menguraikan tentang empat kategori dalam memahami sebuah amalan. Ada amalan yang memiliki dalil dan contoh yang jelas dari Rasulullah SAW, ada pula yang memiliki dalil tetapi tidak memiliki contoh dari Nabi, atau bahkan dalilnya samar. Setiap kategori ini harus dipahami dengan baik agar tidak salah dalam menilai.

“Jangan sampai semua yang tidak ada contohnya dari Nabi langsung disebut bid'ah,” ujar UAH. Menurutnya, beberapa amalan mungkin tidak memiliki contoh langsung, tetapi ada dalil yang mendukungnya. Ini menunjukkan bahwa tidak semua yang tidak dicontohkan otomatis menjadi bid'ah.

Penjelasan Mendalam UAH

Dalam hal ini, penjelasan yang lebih mendalam dari para ulama diperlukan untuk memahami konteksnya. Salah satu contoh yang disebutkan adalah zakat menggunakan beras, yang tidak ada contohnya dari Nabi karena pada masa itu zakat dilakukan dengan kurma atau gandum. UAH menjelaskan bahwa banyak amalan yang dilaksanakan di zaman sekarang tidak ada contohnya dari Nabi, namun memiliki dasar dalil yang kuat.

Makan daging dhab, misalnya, juga tidak ada contoh langsung dari Nabi, namun dibolehkan karena memiliki dasar hukum yang sahih. Ini menunjukkan bahwa tidak semua yang tidak dicontohkan otomatis menjadi bid'ah.

UAH mengingatkan bahwa ada banyak hal dalam syariat yang membutuhkan kajian mendalam. Bukan hanya dengan melihat apakah Nabi mencontohkannya atau tidak, tetapi juga dengan memahami dalil-dalil yang terkait. Tanpa dasar ilmu yang cukup, seseorang bisa terjebak dalam kesalahan dalam menilai suatu amalan.

Pentingnya Ilmu Sebelum Berkata Bid'ah

Pernyataan UAH ini menggarisbawahi pentingnya ilmu sebelum berbicara soal bid'ah. Menurutnya, jika seseorang belum memahami dasar-dasar dari suatu amalan atau tradisi, lebih baik tidak langsung melabeli sebagai bid'ah. “Kalau belum paham dasar ilmunya, jangan bicara. Itu bisa berbahaya,” tegasnya.

UAH juga menegaskan bahwa dalam memahami hukum syariat, tidak bisa hanya berpatokan pada satu kaidah atau contoh. Ada banyak aspek yang harus diperhatikan, mulai dari dalil yang mendukung, hingga penafsiran para ulama. Dengan cara ini, seseorang akan lebih berhati-hati dan tidak mudah melabeli sesuatu sebagai bid'ah.

Pada bagian akhir ceramahnya, UAH kembali mengingatkan bahwa setiap amalan harus dikaji dengan hati-hati dan tidak boleh sembarangan. Ia menegaskan bahwa bid'ah adalah sesuatu yang serius dalam agama, tetapi melabeli sesuatu sebagai bid'ah tanpa dasar yang kuat juga bisa menyesatkan.

UAH mengajak umat Islam untuk selalu memperdalam ilmu agama agar tidak mudah terjebak dalam kesalahan pemahaman. Semakin seseorang memahami dasar-dasar syariat, semakin ia akan bijak dalam menilai suatu amalan. Ini penting agar tidak ada fitnah atau kesalahpahaman di kalangan umat Islam.

Islam adalah agama yang penuh dengan hikmah dan kebijaksanaan, dan setiap amalan yang dilaksanakan harus didasari oleh ilmu yang mendalam serta pemahaman yang benar terhadap dalil-dalil syariat.


You Might Also Like