Apakah Sah Menikahi Sepupu? Baca Informasi Ini Terlebih Dahulu.

Menikahi sepupu adalah hal yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Namun, sebelum memutuskan untuk menikah, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dari sudut pandang agama, sosial, dan h...

Jatuh cinta dan menikahi sepupu bukanlah hal yang aneh dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang menemukan kenyamanan dan keintiman dalam hubungan keluarga yang dekat.

Tapi, sebelum melangkah lebih jauh, atau menikah, penting untuk merenungkan dan mempertimbangkan berbagai aspek, baik dari sudut pandang agama, sosial, maupun hukum yang berlaku.

Dari sudut pandang agama, khususnya dalam Islam, menikah dengan sepupu tidaklah dilarang. Banyak ulama yang mengizinkan pernikahan antar sepupu dengan berbagai alasan, salah satunya adalah kedekatan hubungan keluarga yang bisa memperkuat tali silaturahmi.

Namun, penting untuk memastikan bahwa keputusan ini didasarkan pada niat yang baik dan bukan hanya hasrat semata. Konsultasi dengan ulama atau tokoh agama setempat bisa menjadi langkah bijak untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam.

Dari sisi sosial, menikah dengan sepupu mungkin menimbulkan berbagai reaksi dari keluarga besar dan masyarakat sekitar. Ada yang mendukung karena sudah memahami dan menerima konsep ini, namun ada juga yang mungkin menilai hal ini kurang wajar.

Para ulama sepakat bahwa pernikahan hanya sah antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariat. Halangan-halangan syariat adalah hubungan yang ditetapkan oleh syariat sebagai sebab diharamkannya pernikahan antara laki-laki dan perempuan, baik secara permanen maupun sementara.

Saudara sepupu tidak termasuk mahram, yang dilarang untuk dinikahi.

Dalam bahasa kita, misan atau sepupu atau saudara sepupu (kakak maupun adik) adalah saudara senenek dan sekakek atau anak dari paman atau bibi.

Allah Ta’ala membolehkan menikah dengan saudara sepupu, jika tidak ada halangan dari sisi persusuan.

Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala, “... dan (dengan) anak perempuan dari saudara laki-laki ayahmu dan anak perempuan dari saudara perempuan ayahmu, dan anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak perempuan dari saudara perempuan ibumu …” (QS. Al-Ahzab: 50)

Ini adalah keadilan yang berada di tengah-tengah antara sikap berlebihan dan sikap meremehkan. Orang-orang Nasrani tidak menikahi seorang wanita, kecuali jika ada tujuh generasi atau lebih antara laki-laki dan wanita tersebut.

Sedangkan orang-orang Yahudi, salah satu dari mereka menikahi anak perempuan dari saudara laki-lakinya atau anak perempuan dari saudara perempuannya.

Maka, datanglah syariat (Islam) yang sempurna dan murni ini dengan menghapuskan sikap berlebihan orang-orang Nasrani, sehingga membolehkan (menikahi) anak perempuan dari paman, bibi, paman dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu; serta mengharamkan apa yang dianggap remeh oleh orang-orang Yahudi dalam membolehkan menikahi anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan, yang merupakan perkara buruk dan keji.


You Might Also Like